Penjaga Rimba yang Terasing: Kisah Inklusi Suku Anak Dalam di Sepanjang Trans Sumatera

Pundi Sumatera

HIKAYAT ORANG RIMBA hampir tamat. Orang Rimba didiskriminasi hanya karena mempraktikkan budaya nomaden demi merawat ruang hidupnya. Orang Rimba juga dieksklusi hanya karena mereka punya kepercayaan terhadap dewa-dewi yang berbeda.

 

Seperti tergambar dalam seloka Orang Rimba– puisi yang mengandung ajaran bagi masyarakat penganutnya – alkisah.. “Piado rimbo, piado bungo. Piado bungo, piado dewo”. Rimba tak lagi asri, bunga tak lagi berseri. Bunga tak lagi berseri, dewa pun tak lagi menghampiri.

 

Berburu dan meramu adalah DNa Orang Rimba. Secara genetik, sistematika keturunan, manual regenerasi, peta biologis, cetak-biru individu, berburu dan meramu telah menjadi corak unik masyarakat adat Orang Rimba. hutan merupakan hal sakral dalam kehidupan mereka, yang disimbolkan dengan berbagai sebutan, seperti hutan adat, imbo larangan, imbo pusako, imbo prabukalo, bukit bedewo. jagat keinsyafan ini memunculkan kearifan dimana hutan di hulu air tak ditebang, di lereng dijaga tegakan pohonnya, dan di tepi sungai tidak dibuka untuk kebun atau sudung pemukiman. Ketika mereka tersisih karena kalah jumlah dan tak lagi memiliki benteng pertahanan diri, tak ayal banyak Orang Rimba memilih menjadi ‘orang terang’ dan mengadu nasib ke ‘rimba orang’. Dalam rimba orang yang terang, centang perenang, kehidupan alami tersingkir ke pinggir. tapi jika itu menjadi opsi, Orang Rimba perlu dibekali setidaknya dengan pengetahuan dan kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat luar, tanpa harus dimodernisasi. Orang Rimba menjuluki masyarakat luar sebagai ‘orang terang’ karena hidup di ruang terbuka, bukan di bawah kanopi pepohonan rimbun seperti mereka.

 

Sebaliknya, masyarakat luar memberi label “kubu”, dari kosa kata Bahasa Melayu ngubu atau ngubun, yang artinya bersembunyi dalam hutan. Sebutan ini tertera dalam buku-buku pelajaran sekolah menengah untuk merujuk pada suku yang tinggal di rimba pedalaman jambi. Belakangan, bisa jadi untuk meneteralisir keadaan, pemerintah secara resmi memperkenalkan nama “Suku anak Dalam” yang menyiratkan semua kelompok masyarakat adat dan lokal terpencil yang tinggal di dalam hutan belantara. Persoalannya, generalisasi bisa memicu pendekatan yang seragam untuk berbagai entitas yang sebenarnya majemuk dan butuh penanganan berbeda.

 

Tulisan ini memakai sebutan Orang Rimba dan Suku anak Dalam (SaD) secara bergantian. Masyarakat ini diyakini sebagai suku asli Melayu jambi, yang merupakan salah satu suku minoritas yang hidup dalam keadaan miskin yang sangat ekstrim di Sumatera. Perkebunan sawit, transmigrasi dan pembangunan infrastruktur jalan lintas tengah telah memiskinkan Orang Rimba (hasil kajian Warsi, cultural Survival International dan universitas Indonesia, 1994). jangkauan ruang hidup Orang Rimba sangat luas karena mereka menerapkan budaya nomaden dan tradisi melangun. Melangun berarti hidup mengembara ke dalam hutan. Melangun ibarat menuntaskan air mata, mengutip kiasan indah Mardiyah chamim di bukunya “Menjaga Rimba terakhir”. Melangun juga pernyataan cinta, kehilangan dan kenangan pada orang terkasih, kerabat dan keluarga yang dihormati, yang meninggal dunia. tak peduli pohon durian sedang berbuah lebat, ada hewan buruan lewat, getah karet siap disadap, atau ikan sedia ditangkap, semua itu akan ditinggalkan ketika ada anggota kerabat SaD yang mati. Itu tanda panggilan melangun tiba. 

 

Konsep waktu seakan terhenti bagi suku asli seperti Orang Rimba. Pola genetika Orang Rimba yang menunjukkan tipe pemburu dan peramu berhenti pada pola genetika leluhur mereka ratusan tahun lalu. hal ini dikonfirmasi melalui Riset Lembaga Biologi Molekuler eijkman tahun 2015. Profesor herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika dari eijkman, menengarai suku asli seperti Orang Rimba hidup seperti dalam kepompong yang terlindungi dengan baik. Mereka mengisolasi diri dari kehidupan luar dengan berbagai ritual dan peraturan adat. Karena ada tabir berupa rimba lebat, perubahan yang terjadi di luar suku Orang Rimba seakan tak mempengaruhi mereka, sampai akhirnya perubahan memaksa singgah ke rimba yang semakin terbuka karena dibabat secara hebat. 

 

Secara turun-temurun, Suku anak Dalam hidup dalam kelompok-kelompok kecil (rombong) di dalam kawasan hutan dan sampai tahun 1970-an masih hidup dalam fase berburu dan meramu. Namun seiring dengan meningkatnya aktifitas pembangunan, situasi pun berubah menjadi tidak terlalu menguntungkan bagi komunitas Suku anak Dalam. jumlah tutupan hutan yang sangat jauh menyusut, membuat kelompok-kelompok Suku anak Dalam yang belum bisa keluar dari fase berburu dan meramu ini terlempar ke lingkaran paling luar dari gerak maju proses pembangunan. jika sebelumnya mereka dapat hidup semi nomaden dan menggantungkan kehidupannya dari hasil berburu dan meramu dalam suatu home range yang luas selama berabad-abad, saat ini mereka hidup tanpa kepastian tanah tempat tinggal (apalagi kepastian kawasan untuk berburu dan meramu). Suku anak Dalam terpaksa hidup menumpang di dalam area kebun milik perusahaan sawit atau milik penduduk desa dan nyaris tidak ada sumber mata pencaharian. Kondisi ini kemudian menyebabkan kelompok-kelompok Suku anak Dalam di jalur lintas tengah Sumatera ini mulai terpecahpecah dalam sub-kelompok yang lebih kecil, terdiri dari 5-10 kepala keluarga dan hidup menyebar di dalam wilayah 5 kabupaten. jumlahnya lebih kurang 319 Kepala Keluarga atau sekitar 1.500 jiwa. 

 

Komunitas Suku anak Dalam yang hidup hari ini menerima warisan sejarah yang sangat panjang tentang stigma negatif keberadaan mereka di tengah masyarakat luas. Masyarakat di Sumatera yang mayoritas Melayu muslim menjuluki Orang Rimba/ Suku anak Dalam, Kubu. Kubu sendiri artinya kotor, bau busuk, menjijikkan, persis seperti sampah. Kubu juga bermakna primitif, bodoh, terbelakang, kampungan. Intinya, Orang Rimba belum dianggap manusia, baru setengah manusia, evolusinya belum sempurna. Belum lagi cara hidupnya berbeda. Suka berpindah-pindah, interaksinya terbatas dengan orang di luar suku asli, ditambah tradisi ‘melangun’ (pergi jauh berhari-hari selama masa berduka cita), membuat mereka dituding kumuh dan sulit diatur. Stigma yang melekat tersebut, baik secara sadar atau tidak sadar, terwujud dalam perkataan dan tindakan yang sangat merendahkan derajat mereka. Kondisi ini secara umum membuat hubungan sosial antara komunitas Suku anak Dalam dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya menjadi tegang di bawah permukaan tetapi dapat meledak setiap saat.

Berbagai kejadian dan perselisihan sepele cenderung berujung pada penggunaan kekerasan, dan di beberapa kasus bahkan berakhir dengan pembunuhan. Sebagian besar rombong Suku anak Dalam di lintas tengah Sumatera masih hidup berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Karena kondisi ini, secara umum sangat sulit bagi warga Suku anak Dalam untuk mendapatkan pengakuan legal seperti Kartu tanda Penduduk (KtP), apalagi akta kelahiran. Kesulitan ini timbul dari dua sisi, baik sisi pemerintah maupun sisi warga Suku anak Dalam. 

 

Dari sisi pemerintah, terdapat hambatan teknis untuk mendata keberadaan warga Suku anak Dalam karena ketidakpastian tempat tinggal dan juga minimnya informasi mengenai data kelahiran. Ketiadaan dokumen kependudukan ini pada akhirnya berujung pada minimnya layanan dasar yang dapat diberikan pemerintah dan bisa diakses oleh Suku anak Dalam, khususnya layanan dasar baik kesehatan maupun pendidikan. 

 

Orang Rimba kini tinggal di hutan sisa-sisa, yang senyap tanpa bunyi-bunyian satwa. Rimba hilang, perkebunan sawit terbilang. Pembukaan hutan, untuk memulai lahan kebun monokultur, seringkali dilakukan dengan cara membakar. Guna menghindari api, sebagian besar anggota Suku anak Dalam kabur ke desa terdekat. lainnya ngumpet lari menjauh ke dalam hutan yang tersembunyi di kawasan taman nasional. Keputusan untuk mendekat ke kampung yang lebih tertata dan terlembaga namun asing tak biasa bagi Orang Rimba pasti terasa berat. Namun, pada banyak kasus, mereka tidak punya pilihan lain jika ingin tetap bertahan hidup. Di desa tempat mereka berlindung itulah, proses menjadi ‘orang terang’ dimulai. 

 

Setelah beberapa lama menetap, mereka akan mengirim anak-anak yang telah masuk usia sekolah untuk menuntut ilmu melalui pendidikan formal. tapi guru di sekolah ingin melihat akta kelahiran mereka. untuk memperoleh akta kelahiran, harus ada akta perkawinan orang tua. untuk mendapatkan akta perkawinan, pasangan suami istri Suku anak Dalam harus memeluk agama resmi yang diakui oleh negara. Masalahnya, negara hanya mengakui enam agama secara resmi, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, hindu, Buddha, dan Konghucu. 

 

Dalam kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, setiap warga negara harus mencantumkan salah satu dari enam pilihan pada kolom agama. Kepada Orang Rimba dikatakan bahwa mereka perlu agama resmi agar bisa mendapat KTP, KK dan akta Nikah agar anak-anak mereka dapat bersekolah. Baru pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan penghayat kepercayaan dapat mencantumkan kepercayaan mereka pada kolom agama di KtP dan KK. Namun nestapa tak berhenti di situ. Penghayat kepercayaan tetap mengalami kesulitan mendapatkan akta perkawinan, akta kelahiran, dan dokumen-dokumen lainnya. Bahkan, jika mau sepenuhnya politically correct, sebenarnya ada banyak sekali jenis kepercayaan yang dihayati oleh berbagai masyarakat adat senusantara dan itu perlu disebut lebih rinci. Selama ini salah bila mengatakan Orang Rimba tidak beriman. Iman mereka teguh kepada kepercayaan leluhur. Mereka menyembah banyak dewa, dari dewa lebah, dewa burung rangkong, hingga dewa mata air. Harimau adalah salah satu dewa yang terkuat, selain dewa dan dewi berbagai pohon yang memang lekat dengan kehidupan Orang Rimba. jika Orang Rimba kehilangan rimba, maka mereka kehilangan cara hidup, budaya dan sistem kepercayaannya. Dewa-dewi mereka akan hancur. Padahal, dewadewilah yang melindungi perempuan dan anak-anak yang menjadi jaminan dapat berlangsungnya sebuah generasi. Dukun-dukun akan kehilangan kekuatan mereka, sebaliknya bencana akan meraja lela. 

 

Para pegiat inklusi kini berjuang agar parlemen mengubah undang-undang administrasi Kependudukan tahun 2013. Perjuangan ini juga makin berat karena hingga hari ini, setelah sepuluh tahun berlalu, Rancangan undang-undang Masyarakat adat terus terkatung-katung tak jua disahkan di Senayan. Situasi ini kontras dengan Ruu Pertambangan Mineral dan Batubara, juga Ruu cipta Kerja, yang masuk jalur super express di Badan legislasi dan melenggang tanpa halang rintang yang berarti untuk diketuk palu di Rapat Paripurna. Bagi mereka yang sinis, aturan perundangan di negeri ini selain tergantung pada uuD (undang-undang Dasar), nampaknya juga tergantung pada uuD (ujung-ujungnya Duit). 

 

Kehadiran perusahaan hutan tanaman industri berskala besar secara perlahan telah menghilangkan kawasan hutan alam. hal ini menimbulkan persoalan lahan yang menjadi ruang hidup Suku anak Dalam. Komunitas yang ada sekarang terpaksa tinggal di tengah-tengah kebun sawit dan kebun karet di mana mereka semakin sulit untuk berburu, berkebun atau mendapatkan tanaman obat yang semula disediakan oleh alam. Krisis air bersih, sanitasi, kekurangan gizi, lelah fisik dan psikis akibat melangun, adalah masalah yang mudah mengundang infeksi berbagai jenis penyakit. Dalam kondisi rentan, ditambah kematian beruntun, membuat nasib Suku anak Dalam – yang kadang disingkat SAD, dalam bahasa Inggris artinya sedih – sunguh menyedihkan dan memprihatinkan. 

 

Mungkin karena hidup menyatu dengan hutan, makan dari hasil berburu dan meramu, mereka tidak terlalu paham konsep kepemilikan individu sehingga sering dituduh mencuri. Mereka menganggap buah dapat tumbuh dengan sendirinya di pohon dan bisa bebas diambil jika memerlukan. Padahal dalam kondisi masyarakat yang menetap, banyak komoditas memang sengaja ditanam oleh warga. hanya yang menanam yang berhak memanen. Orang Rimba juga dianggap menciptakan ketegangan ketika memburu dan menyantap babi hutan di kampung yang warganya mayoritas beragama Islam. Ketika warga muslim melihat darah babi berceceran atau sisa bangkai babi berserakan, warga akan merasa terganggu. 

 

Pandangan ini adalah cerminan kontradiksi Orang Rimba dengan nilai-nilai yang dianut oleh ‘orang terang’. Orang Rimba tidak memakan hewan ternak, seperti ayam, sapi, atau kambing. Mereka menganggap itu adalah bentuk pengkhianatan. anda memberi makan hewan, tapi ketika hewan itu gemuk, anda memakannya. Menurut Orang Rimba pengaturan untuk menentukan peruntungan yang adil adalah bertarung. Siapapun yang menang dapat menyantap yang kalah. Itu semacam code of conduct yang berlaku buat Orang Rimba

Gaya hidup Orang Rimba dalam banyak aspek memang berbeda bahkan berkebalikan dengan orang kebanyakan. Perbedaan ini kembali tercermin dalam seloka yang kerap diajarkan oleh Orang Rimba kepada generasi muda mereka, untuk meneguhkan tradisi. Seloka itu berbunyi, “semenjak nenek puyang kami nio, Orang Rimbo beratap cikai, bedinding banir, berayam kuaw, bekambing kijang, bekebau tonuk.” Seloka sederhana ini bermakna dalam. Ia menggambarkan pembagian ruang antara orang rimba dan orang terang, agar tidak saling ganggu dan bertoleransi dalam sebuah harmoni, sejak dahulu kala. jika orang terang berumah dengan dinding tembok, maka orang rimba tinggal di rumah beratap anyaman daun cikai yang didirikan di antara pohon banir yang besar menjulang. jika orang terang makan ayam, maka orang rimba makan burung kuo; jika orang terang konsumsi daging kambing, maka orang rimba konsumsi daging kijang; jika orang terang pelihara kerbau, maka orang rimba punya hewan yang ada di hutan bernama tonuk. 

 

Ruang hidup Orang Rimba dijaga dengan penuh kehati-hatian, kesyukuran dan kecintaan. Banyak sekali aturan, bahkan penyakralan, terhadap alam. Berbeda dengan kebanyakan ‘orang terang’ yang kerap memandang alam sebagai sumber daya yang akan selalu tersedia untuk dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan manusia. 

 

Benturan kebudayaan semacam itu terutama mengemuka dekade tahun 1980-an ketika Presiden Soeharto memberikan lahan kepada para transmigrant, termasuk para pengusaha, dari Pulau jawa. lahan yang dialokasikan untuk transmigrasi, yaitu Singkut, Pemenang, air Itam, Kuamang Kuning, Rimbo Bujang, Bukit Duabelas, sudah diketahui adalah tempat hunian Suku anak Dalam yang nomaden. Sejak saat itu, area hutan yang menjadi ruang hidup Orang Rimba, kian terbuka. Sejalan dengan langkah tersebut, perkebunan kelapa sawit, karet, dan kayu produksi leluasa merambah hutan tanpa berunding atau memberi kompensasi kepada penduduk asli. Namun tidak ada langkah antisipasi dari pihak pemerintah selain program settlement. Program ini nyatanya tak pernah berhasil, cukup mengikuti logika sederhana, mungkin karena Orang Rimba tak betah berumah di pemukiman tersebab habitat aslinya berada di rimba, beratap cikai, bedinding banir. 

 

Tahun 1994, muncul laporan Bank Dunia berjumlah 176 halaman yang membahas dampak pelaksanaan program transmigrasi massal gelombang I, II, dan III. Dalam laporan berjudul “Indonesia Impact Evaluation Report” ada empat halaman yang khusus menyoroti Orang Rimba. Menurut laporan tersebut, sedikitnya ada 670 orang, atau sekitar 14 persen dari total populasi Suku anak Dalam yang diperkirakan berjumlah 4.750 jiwa saat itu, yang terusir dari hutan, mencari penghidupan dengan jalan kaki berombongan ke kampung-kampung sekitar, bahkan tak sedikit yang mengemis belas kasihan ‘orang terang’ di jalan raya trans Sumatera. Di tengah derap transmigrasi dan perkebunan massal, Orang Rimba terusir dari rumah dan kebunnya sendiri. Mereka kehilangan harkat martabatnya sebagai manusia, tercerabut dari akar budaya leluhurnya, dan termarjinalkan dari penenuhan hak-haknya sebagai warga negara. 

 

Sejak masifnya pembukaan jalan dan lahan untuk hPh atau htI, juga pembukaan lahan untuk pemukiman transmigrasi, Orang Rimba sudah jarang lagi menetap dan menghuni rumah. Mereka lebih suka tinggal di pondokan (biasa disebut sudung) beratap terpal atau plastik hitam untuk memudahkan mobilitas saat tiba panggilan melangun. Sudung dulunya beratapkan daun puar, tanpa dinding dan lantai.

Saat ini, penggunaan daun sebagai atap hanya dilakukan untuk efek pendingin, terpal dan plastik telah menggantikan daun puar sebagai bahan atap. Kondisi-kondisi inilah yang melatarbelakangi Pundi Sumatera, dengan dukungan Program Peduli, melakukan pendampingan dan pemberdayaan untuk komunitas Suku anak Dalam yang berada di sepanjang jalur lintas tengah Sumatera. Mereka hidup menyebar di sekitar Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, dan Kabupaten Bungo, Provinsi jambi. juga, Suku anak Dalam di Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. 

 

Suku anak Dalam yang terlunta-lunta di area perkebunan sawit dan terkatung-katung di jalan raya lintas tengah antara Sumatera Barat dan jambi inilah yang menjadi masyarakat adat dampingan Pundi Sumatera. Kelompok sasaran ini berada di luar Kawasan taman Nasional Bukit Duabelas, tepatnya desa Pulau lintang di kabupaten Sarolangun; desa Pauh Menang, Pelakarjaya, Sialang dan Pematang Kancil di kabupaten Merangin; desa Dwi Karya Bakti di kabupaten Bungo. Ketiga kabupaten tersebut masuk ke dalam administrasi provinsi jambi. Kelompok sasaran berikutnya adalah nagari Bonjol, Banai dan Sikabau di kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Dengan pendekatan yang dinamakan “Sudung”, Pundi Sumatera intens melakukan aktivitas pendampingan di sudung yang menjadi pusat aktivitas berbagai rombong Suku anak Dalam. 

 

Rombong Suku anak Dalam yang didampingi oleh Pundi terdiri dari rombong Nurani, Ngilo, Yudi dan abas, Ganta, Sikab, hari dan Badai, juga rombong Marni, Panyiram dan Bujang Rendah. Pendekatan Sudung ditujukan untuk menciptakan situasi interaktif terutama dalam hal ekonomi (ternak, lahan dan kebun) antara Suku anak Dalam dengan masyarakat sekitar, terciptanya kepastian hukum dan adat terhadap pengelolaan tanah dan sumber daya alam oleh Suku anak Dalam, terwujudnya layanan dasar pendidikan dan kesehatan sesuai kondisi Suku anak Dalam, yang terintegrasi dengan program pemerintah daerah. Sebagai hasilnya, Suku anak Dalam sepanjang lintas tengah Sumatera ini mendapat pengakuan atas hak-hak dasarnya sebagai warga negara, dapat berinteraksi dengan komunitas lain secara setara, dan mendapatkan layanan sosial sesuai situasi sosial budaya Suku anak Dalam. Namun sejak hidup berkampung di desa, warga Suku anak Dalam sudah tinggal di rumah-rumah yang dibuat oleh pemerintah. Sudung hanya dibuat dan digunakan ketika mereka harus pergi ke hutan. 

 

Pemerintah terus mencoba hadir untuk memenuhi hak warga negara tanpa kecuali. Presiden joko Widodo meresmikan kawasan permukiman dan lahan untuk Orang Rimba setelah bertemu dengan tetua suku. Ia menjadi Raja Godong kedua — setelah Raja Godong Gus Dur yang pertama datang ke jambi untuk mengesahkan taman Nasional Bukit Dua Belas yang menjadi kawasan dilindungi dan ruang hidup khusus bagi Suku anak Dalam. Namun, di era Presiden jokowi, rumah-rumah untuk Orang Rimba banyak ditinggalkan untuk kembali ke hutan, dan alhasil berubah menjadi rumah hantu. Petugas Dinas Sosial hingga Menteri Sosial terus gigih menawarkan bantuan rumah permanen bagi Orang Rimba – dinamakan program settlement sejak 1965. Bantuan ini kurang disambut oleh sebagian anggota Suku anak Dalam. tanpa ada sumber nafkah untuk memberi makan keluarga mereka, warga yang sempat tinggal di rumah permanen kembali ke hutan. Mungkin mereka ingin hutan, bukan rumah. Orang Rimba lalu berusaha mendaftarkan hutan mereka sebagai tanah ulayat menyusul putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013. Melalui putusan itu, harapannya hutan adat dapat dikelola oleh masyarakat adat yang telah menempatinya sejak berabad-abad lalu. 

 

Di tengah kondisi ini, Program Peduli-Pundi berupaya memfasilitasi penyediaan layanan publik, dalam hal ini Kesehatan, bagi komunitas Suku anak Dalam yang menetap. Beberapa kali kegiatan pengobatan gratis dilakukan, yakni dengan menghadirkan tenaga medis dari rumah sakit dan puskesmas terdekat. Beberapa kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan bagi komunitas Suku anak Dalam juga mulai dijajaki. Program peningkatan ekonomi dimulai dengan pengembangan kolam ikan dengan terpal, ternak kambing, dan budidaya tanaman pangan seperti terong, ubi jalar, singkong, cabe, tomat, dan lain-lain. Semua komoditas itu ditanam di sekitar tempat tinggal komunitas. 

 

Kaum perempuan di komunitas Suku anak Dalam sangat antusias menerima bantuan-bantuan tersebut, bahkan yang lebih banyak mengurusi ikan kolam, ternak kambing, dan tanaman sayur-mayur ini adalah kaum perempuan, ibu-ibu, atau induk-induk (mamakmamak) yang memang punya waktu senggang cukup banyak. Dengan kegiatan ini, diharapkan masyarakat pemanfaat tidak hanya menggantungkan hidupnya dari hewan buruan yang semakin sulit didapat. Bahkan bila memungkinkan, kegiatankegiatan itu bisa meningkatkan kesejahteraan. Ketika anak-anak Rimba mulai mengenal huruf dan angka, mereka lalu berani bercita-cita. Ini pun proses yang tak mudah. Kehadiran anakanak Rimba di sekolah formal dianggap aneh dan rentan riksakan. edukasi untuk kedua belah pihak, baik yang tereksklusi dan yang mengeksklusi, menjadi tanggung jawab bersama.

Program Peduli, melalui Pundi Sumatera, menjadi salah satu organisasi yang mengadvokasi kebijakan inklusi sosial oleh negara dan masyarakat lain. hasilnya, SaD yang semula sangat tertutup, buta huruf, apatis, rasa percaya diri rendah, sulit berinteraksi dengan orang baru, apalagi pemerintah, melalui pendampingan dan pemberdayaan, kini perilakunya secara perlahan berubah. Begitu juga dengan sikap dan stigma negatif dari pihak luar perlahan terkikis. Suku anak Dalam kini mau dan mampu berbaur, dapat diterima dan dilibatkan dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. 

 

Penerimaan juga muncul dari proses kegiatan ekonomi transaksional seperti jual beli produk dan penerimaan sosial seperti pernikahan, kelahiran dan pemulasaraan kematian. cukup melegakan karena pemerintah daerah di beberapa wilayah mulai memberikan perhatian dan komitmennya pada perbaikan kesejahteraan komunitas Suku anak Dalam, meski porsi dukungan dan komitmen yang secara konkrit tertuang pada rencana kerja dan anggaran masih bersifat terbatas, namun itu jauh lebih baik dari kondisi 2-3 tahun sebelumnya dimana komunitas SaD betul-betul menjadi masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan dan sangat sulit untuk mengakses layanan dasar milik pemerintah. Persoalan yang dahulu sangat mendasar adalah terkait sulitnya SaD mendapatkan pengakuan sebagai warga negara dalam bentuk administrasi dokumen kependudukan. 

 

Berpuluh-puluh tahun lamanya mereka dianggap sebagai warga kelas bawah, yang alien atau ilegal, akibatnya komunitas ini jauh dari haknya untuk mendapatkan program-program bantuan dari pemerintah; komunitas ini pun amat kesulitan untuk mengakses layanan dasar khususnya kesehatan mulai dari puskesmas hingga ke rumah sakit umum daerah. Kalaupun bisa diakses, komunitas ini kerap mendapatkan perlakukan atau pelayanan yang diskriminatif dari petugas. Begitupun dengan layanan dasar pendidikan. anak-anak dari komunitas ini dahulunya sangat sulit untuk bisa masuk ke sekolah formal. Pihak sekolah akan memberikan seribu satu alasan agar anak-anak dari komunitas SaD ini tidak dapat bersekolah di sekolah yang sama dengan masyarakat umum lainnya. Kondisi tersebut dipersulit karena memang saat itu daerah belum mempunyai cukup perhatian dengan adanya kebijakan-kebijakan khusus yang berpihak pada komunitas tersebut. 

 

Selama periode program, perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada komunitas Suku anak Dalam merupakan salah satu bagian yang didorong oleh Pundi Sumatera, baik kebijakan yang tertuang dalam rencana kerja masing-masing dinas terkait, kebijakan di tingkat pemerintah daerah kabupaten, propinsi atau yang lebih luas lagi hingga di tingkat nasional. Kebijakan yang dimaksud adalah bagaimana komunitas ini juga mendapat perhatian, dukungan baik secara teknis serta pengalokasian dukungan anggaran pada APBD untuk kegiatankegiatan yang bertujuan untuk memberdayakan, memberikan layanan dasar serta meningkatkan kualitas layanan serta fasilitas pada komunitas tersebut. upaya mendorong perubahan kebijakan yang lebih responsif terhadap Suku anak Dalam dilakukan dengan: Secara intens advokasi dilakukan dalam bentuk membangun komunikasi serta koordinasi ke dinas terkait baik secara formal maupun informal, merancang program kegiatan bersama, lalu mulai memberikan usulan-usulan untuk program kerja rutin dinas yang menyangkut dengan pemberdayaan terhadap komunitas SAD. 

 

Membangun hubungan baik secara personal dengan pejabat daerah, khususnya pada masingmasing dinas terkait yang terbukti lebih efektif untuk memberikan input pada perencanaan programprogram dinas. hubungan baik secara personal ini dibangun pada level pimpinan atau paling tidak pengambil kebijakan di instansi tersebut. Mengajak perwakilan dari dinas ataupun pejabat daerah untuk melakukan kunjungan kerja ke lokasi pemukiman SaD untuk memberikan pemahaman yang berbeda pada level pengambil kebijakan. Dengan melihat realitas lapangan, paling tidak program ataupun kegiatan yang diperuntukan bagi SaD betul-betul berupa program yang dibutuhkan, sesuai dan tepat sasaran karena lahir dari proses ‘melihat’ dan ‘mendengar’ langsung kebutuhan dan kondisi komunitas. hasilnya, dalam durasi program, Peduli sudah memfasilitasi sebanyak 95 dokumen KK, 210 KtP, 162 akta Kelahiran, 33 KIa, 3 KIP, 46 BPjS/KIS, 51 KK penerima Blt, 21 KK penerima PKh, 21 KK penerima BPNt, 12 KK/42 jiwa penerima KKS/e-Waroeng, dan 88 KK penerima BSt covid-19. Ini semua menjadi bukti terbukanya akses SaD pada berbagai layanan dasar dan program bantuan kesejahteraan sosial dan pengentasan kemiskinan dari pemerintah. 

 

Pendampingan memperkenalkan dan meningkatkan keterampilan teknis SaD dalam bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kerajinan anyaman untuk survive dan memiliki sumbersumber ekonomi lain. ternak kambing berkembang baik di Rombong Ngilo dan Rombong Nurani, bahkan sudah proses jual beli, bukan hanya untuk konsumsi sendiri. Produk anyaman mulai masuk tahap pemasaran di Rombong Yudi. Budidaya ikan berkembang hingga pemasaran dan membuat produk olahan di Rombong hari. Bertani palawija berhasil di Rombong hari dan abas. Kini Rombong Ngilo, Yudi, abas dan Ganta aktif mengikuti kebaktian di gereja desa. Ibu hamil dan balita di Pelakarjaya, Sialang dan Dwi Karya Bakti, rutin mengikuti posyandu. Rombong SaD kerap dilibatkan dalam rewang penyiapan pesta, diundang pada perayaan pesta, diajak bergotong royong, meronda siskamling, dan didengarkan pendapatnya dalam rapat-rapat sosialisasi.

 

Komunitas SAD sudah mampu berkoordinasi dengan pemerintah, mengutarakan pendapat, dan berdialog aktif untuk memperjuangkan kepentingan komunitasnya. tidak berhenti di situ, mereka aktif menggunakan hak pilih dalam pemilihan presiden, anggota legislatif, kepala daerah, kepala desa, bahkan kini dua temenggung SAD menjadi perangkat desa. Namun demikian, warga Suku anak Dalam di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, masih menemui kesulitan mengurus administrasi kependudukan. hal itu membuat mereka tidak dapat mengakses layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

Kini tercatat ada 23 keluarga atau 74 jiwa warga Suku anak Dalam yang mendiami hutan Kabupaten Dharmasraya. Mereka tersebar di hutan Bulangan, Nagari Bonjol, Kecamatan Koto Besar, dan di hutan jorong Padang lalang, Nagari Banai, Kecamatan IX Koto. Semua warga Suku anak Dalam di Dharmasraya juga tinggal di pondok. lima pondok di hutan Bulangan berada sekitar 90 kilometer dari jalur lintas Sumatera. adapun di hutan Padang lalang ada dua pondok, yang berada 123 km dari jalan lintas Sumatera. 

 

Mereka hidup dengan berburu babi atau menjual tanaman hutan seperti jernang. Keberadaan Suku anak Dalam memang diakui oleh pemerintah nagari yang bertanggung jawab di wilayah tempat tinggal mereka. tetapi, secara administrasi, mereka dianggap bukan penduduk nagari tersebut. akibatnya, ketika mengurus kartu tanda penduduk, mereka ditolak. 

 

Pencatatan sipil dalam administrasi pemerintah minimal ada rekomendasi dari wali nagari. tetapi, wali nagari yang bertanggung jawab terhadap wilayah yang ditempati masyarakat Suku anak Dalam tidak mau memberikan rekomendasi, di antaranya karena perbedaan kepercayaan. Karena tidak memiliki kartu tanda penduduk, jaminan atau asuransi kesehatan seperti Badan Penyelenggara jaminan Sosial (BPjS) atau sejenisnya tidak didapatkan. Ketika mereka sakit atau melahirkan memang langsung dibawa ke Rumah Sakit Sungai Dareh. tapi, biaya untuk berobat sulit diganti sehingga para karyawan rumah sakit pernah mengedarkan kotak donasi untuk membantu biaya persalinan salah seorang warga Suku anak Dalam. Karena tidak ada pengakuan secara administrasi, warga Suku anak Dalam juga tidak masuk sekolah formal. Padahal, sebagian anak-anak suku itu sudah masuk usia sekolah. Sejauh ini yang dapat dilakukan adalah pengenalan angka dan huruf melalui sekolah lapangan. 

 

Selain akses terhadap layanan dasar, warga Suku anak Dalam juga kesulitan pangan. jika ada bantuan seperti beras diambil dari sisa program kebencanaan. untunglah, akhirnya ada terobosan untuk mencegah kebuntuan berupa hibah lahan dari ninik mamak di wilayah Nagari Bonjol seluas 18,81 hektar. Selanjutnya dilakukan pembentukan tim Penyusun ReNStRa Pemberdayaan SaD 2017 dengan SK Bupati No.189.1/327/KPtS-BuP/2017 dan Dokumen Renstra SaD Kabupaten Dharmasraya tahun 2017- 2023. hal ini mendorong Pemerintah Kabupaten Dharmasraya berkomitmen terhadap inklusi dan partisipasi Suku anak Dalam. 

 

Program pemerintah diarahkan untuk pemenuhan hak-hak dasar, pengakuan eksistensi, dan keberlanjutan Suku anak Dalam, terutama pada instansi terkait, seperti dinas pendidikan, dinas kesehatan, dan catatan sipil. Ke depan, Pundi Sumatera mengajak berbagai mitra pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah, terus fokus pada pengembangan ekonomi masyarakat dampingan. Produk lidi sawit, ikan asap, ternak kambing adalah sebagian peluang usaha yang masih sangat berpotensi untuk terus dikembangkan. Pemberdayaan kolaboratif dengan dukungan desa, kecamatan, kabupaten dirasa cukup kuat di Kabupaten Bungo-Merangin-Sarolangun dan Dharmasraya untuk menjadi modal sosial dalam pengembangan Desa Inklusi dan Wisata Budaya

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat Suku anak Dalam telah, tengah dan terus bertransformasi. Program Peduli percaya bahwa pasca pendampingan, masyarakat Suku anak Dalam mempunyai pilihan. Mereka mampu merespon “halom nio la berubah”, perubahan alam semesta ruang hidup mereka, dengan pilihan sadar. 

 

Mereka berdaya untuk memulihkan “nguaran”, ruang hidup yang kian menciut, kendati sadar mereka tak mungkin merebut dan mengembalikannya utuh ke masa sebelum tersentuh. Menuntut pembatalan izin pembukaan hutan secara total adalah sesuatu yang mustahil. Karenanya, yang paling mungkin, mengajukan permohonan diwujudkannya hutan kemitraan kepada “rajo-rajo”, yaitu pihak otoritas baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan. Masyarakat pemanfaat menitip pesan dan harapannya pada Program Peduli. Mereka ingin mimpi sebidang lahan hutan bagi komunitas Suku anak Dalam menjadi nyata. 

 

Pengetahuan Suku anak Dalam yang terakumulasi dari generasi ke generasi janganlah hilang karena hilangnya hutan yang menjadi penyangga hidup mereka. Pengetahuan itu dari mulai jenis dan komposisi tanaman obat hingga teknik meracik obat berbahan dasar tanaman yang tumbuh di sekitar hutan. akar marabin adalah obat untuk menyembuhkan batuk. Sekeduduk untuk menghentikan pendarahan. Kayu selusuh untuk memperlancar persalinan. Sengkrobong untuk menghentikan diare. akar kepor untuk mengobati sesak nafas. Batang kareh untuk menyembuhkan sakit kepala dibarengi dengan muntah-muntah. Itu hanya sekelumit dari luasnya pengetahuan mereka. jauh sebelum komunitas Suku anak Dalam mengenal Puskesmas, rumah sakit, atau obat-obatan ringan yang tersedia di warung, saat anggota rombong sakit, mereka selalu menggunakan tanaman obat sebagai pertolongan pertama. 

Tradisi gotong royong, jaga sesama, juga tak asing bagi komunitas Suku anak Dalam si Orang Rimba. Siapa pun yang beruntung mendapatkan hewan buruan, maka hewan tersebut akan dibagi rata ke semua anggota rombong. Begitu juga dengan kepemilikan bahan makanan pokok seperti beras, secara otomatis akan dikonsumsi bersama-sama. Komunitas yang dianggap primitif dan bodoh ini perlu menjadi teladan bagi masyarakat kota yang membanggakan dirinya maju tapi sudah tak lagi saling bantu, bahkan masa bodoh melihat orang lain serba kekurangan. 

 

Perbedaan adalah berkah. Orang Rimba-Suku anak Dalam memang berbeda gaya hidup dengan kebanyakan orang kota yang berbaju dan berdasi. jangan sampai karena suka berbaju minim dan terbuka, lalu dipandang berbeda dan distigma. Sama seperti ‘orang terang’ yang punya kelebihan, Orang Rimba memiliki keunggulan berupa kearifan memahami hukum alam, memiliki kemampuan membaca hutan, memiliki kesediaan memperlakukan ruang hidup dengan penuh kesyukuran sehingga lahir ungkapan, “alam terbentang jadi guru”. Itulah kekayaan intelektual Orang Rimba. Harapannya, jangan sampai Orang Rimba Suku anak Dalam ini berubah karena terpaksa, termarjinalkan karena prasangka, dan lalu sama sekali tak berdaya untuk membuat pilihan terbaik bagi dirinya dan sukunya. tetapi keyakinan ini pun tak sepenuhnya melegakan. Keadaan ini masih menyisakan tanya, jika Orang Rimba tak lagi berburu dan meramu, terasing dari habitat asli mereka, siapakah yang benar-benar akan menjaga rimba dan amalan nenek moyang? hanya warga yang percaya diri dan peduli yang dapat membebaskan dirinya dari belenggu isolasi dan diskriminasi. Suku anak Dalam adalah penjaga rimba yang berdaya dan digdaya.