Lika Liku Perjuangan Masyarakat Adat untuk Setara Bermartabat di Mentawai

Yayasan Citra Mandiri Mentawai

Alam laksana seorang ibu. Ia menyusui, memberi makan dan melindungi. Ketika masyarakat adat kehilangan sumber daya alam, keadaan ini sama dengan kehilangan ibu.

 

Kehidupan masyarakat adat saat ini seperti keadaan anak piatu: gagap dalam masa transisi dan jauh dari kondisi sejahtera. Pembangunan ekonomi dan investasi di wilayah terisolasi kerap membawa dampak menyusahkan ketimbang menyejahterakan. Atas undangan pemerintah, pebisnis hadir sebentar, mengambil kekayaan alam di sekitar, lalu semua dibawa keluar. Hidup kelar. Berbanding terbalik kala masyarakat adat memanfaatkan sumber daya alam secara ala kadarnya. Kehidupan terus berdenyut.

 

Suku adat bukan anti pembangunan ekonomi atau investasi, tetapi investasi harus memperhitungkan kelangsungan dan kehidupan jangka panjang, terutama ekologi. Jangan sampai terjadi bencana kalabendu penuh sengsara. Masyarakat adat harus mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak-hak mereka, dari hak wilayah untuk mengelola sumber daya alam, sampai pemenuhan hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan dan kesempatan berusaha. Cerita ini tentang kemitraan masyarakat adat, pemerintah daerah, dan kelompok masyarakat madani yang mengupayakan penyusunan peraturan daerah perlindungan masyarakat adat suku Mentawai, tentang perjuangan untuk setara dan bermartabat.

 

Bagi masyarakat adat di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, hutan, sungai dan laut serta segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, sangatlah penting. Tidak hanya untuk kebutuhan hidup primer seperti sandang, pangan, papan tetapi juga kebutuhan yang bersifat budaya dan religi.

 

Sadar bahwa sumber daya alam mereka terancam, mereka bertekad untuk melindunginya, dengan alasan yang sangat lugas dan jelas, yaitu karena kehidupan dan penghidupan mereka tergantung pada alam.

 

Cerita di Mentawai memperlihatkan, upaya warga dan pemerintah daerah tidak selalu mudah. Peraturan daerah pengakuan dan perlindungan masyarakat adat mutlak diperjuangkan supaya warga mendapatkan hak mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan tanpa keraguan. Sejak 1969, seluas 601.000 hektar daratan kepulauan Mentawai, sebagian besarnya menjadi bancakan untuk diusahakan. Negara dianggap abai dengan tanggung jawabnya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, alih-alih penguasa malah menyerahkan pengeloaan SD A kepada pengusaha.

 

Berkat konsesi, perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan memperoleh pendapatan triliunan rupiah. Sebaliknya, dari sejak masih menjadi bagian dari kabupaten Padang Pariaman maupun setelah era pemekaran, Mentawai hanya mendapatkan alokasi dana pembangunan yang tak seberapa tapi harus menanggung berbagai risiko yang sering tak terhitung. Risiko itu mulai dari bencana alam seperti gempa, banjir, longsor, tsunami hingga konflik tenurial.

 

Kebijakan negara menggadaikan hutan kepada pengusaha akhirnya dikoreksi. Setelah usai masa hak pengusahaan hutan, atau dalam beberapa kasus terjadi pencabutan konsesi, pemerintah mulai mengakui dan mendukung masyarakat adat untuk mengelola hutannya. Masyarakat adat mendapat giliran untuk pegang kendali. Apalagi masyarakat adat memiliki peraturan adat dan kearifan local untuk menjaga hutan tetap lestari dan terlindungi. Hutan merupakan sumber kehidupan, menyediakan bahan pangan, rumah untuk bernaung, ruang ekspresi seni, religi dan ritual adat.

Mentawai berpenduduk lebih dari 85.000 yang tersebar di empat pulau besar, yakni Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Secara administrasi, Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri atas 10 kecamatan dengan 43 desa. Yayasan Citra Mandiri Mentawai (Y CMM), lembaga yang mendampingi dan mengadvokasi hak-hak masyarakat Mentawai, memilih lima wilayah sebagai area kerja yang diintervensi bersama dengan KEMITRAAN dalam Program Peduli. Wilayah tersebut adalah Areal Silaoinan Dusun Bekkeiluk, Salappa, Magosi, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan; Dusun Tinambu, Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah; dan Kampung Gorottai, Dusun Ukra, Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara.

 

Wilayah ini dipilih karena ada persoalan eksklusi sosial yang dialami oleh masayarakat, baik karena faktor geografis yang terpencil atau stigma sebagai orang pedalaman yang kolot. Penerimaan masyarakat adat dan pemerintah desa terhadap Program Peduli cukup terbuka. Mereka berkomitmen untuk bersama melakukan perubahan. Pemerintah Desa Muntei dan Malancan membuka ruang bagi masyarakat dampingan untuk terlibat aktif dalam berbagai forum perencanaan tingkat desa. Namun, sebagai bagian dari strategi implementasi program, setelah mencermati dinamika sosial dan politik lokal, maka satu wilayah dampingan di Tinambu-Saliguma dilepas karena menghendaki pergesaran prioritas program. Tahun 2018-2019, representasi masyarakat dampingan di Silaoinan dan Malancan lah yang makin sering terlibat dan dilibatkan dalam forum perencanaan tingkat desa.

 

Jika ditarik garis lurus, Kabupaten Kepulauan Mentawai berada sekitar 200 kilometer dari Padang, ibu kota provinsi. Kepulauan Mentawai terletak di Samudra Hindia, bisa ditempuh menggunakan jalur laut atau udara. Jalur laut menggunakan kapal cepat dengan waktu tempuh 4-5 jam tergantung cuaca atau dengan kapal milik PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan ( ASDP) selama 10-12 jam. Sementara untuk pesawat terbang, bisa dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) dengan jadwal terbatas setiap minggu. Dengan kata lain, jalur laut menjadi pilihan utama bagi siapa saja yang akan ke Mentawai. Jalur laut juga menjadi sarana transportasi utama di pulau ataupun antar pulau.

 

Tahun 2020, Mentawai menjadi satu-satunya wilayah yang masih masuk kategori 3 T (terdepan, terluar, dan tertinggal) di Sumatera Barat. Aksesibilitas memang masih masalah besar bagi warga daerah 3 T. Ambil contoh penduduk yang tinggal di Dusun Bekkeiluk, Desa Muntei, berlokasi di pedalaman Pulau Siberut, sekitar 7 kilometer dari Muara Siberut. Meski memiliki perangkat pintar berupa telpon genggam dan tablet, masyarakat tak bisa berbuat banyak. Gawai direduksi fungsi utamanya hanya untuk mendengarkan musik, Warga pedalaman yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil bumi seperti pisang, rotan, dan pinang, kesulitan berkomunikasi dengan dunia luar. Menelfon atau mengirim pesan dengan gawai, sesuatu yang dianggap remeh temeh, mudah dan murah bagi orang kota, menjadi hal yang mustahil di Bekkeiluk.

 

Sinyal seluler tetap belum menjangkau desa-desa tetapi sudah mulai ada pembangunan B TS di kecamatan. Kabel optik bawah laut cukup baik tapi terbatas di pusat ibukota kabupaten dan kecamatan.

Dusun Bekkeiluk hingga kini belum terjangkau sinyal seluler dan aliran listrik. Untuk mengisi baterai gawai, warga memakai genset, dengan catatan ada bensin untuk menghidupkannya. Jika mau menelepon, warga harus ke Muara Siberut karena sinyal hanya ada di sana. Perjalanan ke Muara Siberut juga bukan hal sepele. Perjalanan darat awalnya tidak tersedia dan jalan mulai dibangun sejak 2019 ke Desa Muntei dengan dibiayai dari dana desa dan pembangunan infrastruktur perdesaan dari anggaran kecamatan di Pulau Siberut sehingga ada pilihan selain melalui sungai. Saat arus besar, perjalanan membutuhkan waktu 3,5 jam. Jika dangkal, dibutuhkan waktu 4 jam, bahkan lebih.

 

Warga yang memiliki sampan menghabiskan bensin 10 liter untuk perjalanan pergi-pulang, atau sekitar Rp 100.000 jika harga bensin Rp 10.000 per liter. Bagi yang tidak punya sampan, perlu biaya Rp 200.000 pergi-pulang untuk sewa sampan. Anggaran itu belum termasuk biaya makan. Untuk penginapan, biasanya mereka menumpang di rumah kerabat. Tidak hanya warga Bekkeiluk, warga Dusun Salappak, Desa Muntei, yang lebih jauh dengan Muara Siberut, juga melakukan hal serupa. Warga perlu bersampan selama lima jam ke Muara Siberut untuk menjangkau dunia luar. Sungguh boros ongkos dan menyita waktu. Akses adalah satu hal yang dianggap lumrah, mudah dan murah bagi warga kota.

 

Saat warga daerah lain bisa berkomunikasi dalam berbagai bentuk dari teks, audio, hingga video secara real time, di Kepulauan Mentawai komunikasi masih jadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas. Kondisi serupa ditemui di Pagai. Satu-satunya wilayah yang sinyal selulernya bagus hanya di Sipora, pusat kabupaten. Karena terkendala sinyal, koordinasi lebih banyak menggunakan surat, terlebih bagi warga yang tinggal di hulu sungai. Warga akan menitipkan surat, atau pesan lisan, seminggu sebelum kegiatan atau hajatan diselenggarakan, kepada warga lain yang bepergian ke hulu sungai. Dan sebaliknya.

 

Jika jaringan seluler saja sulit, apalagi internet. Hanya ada beberapa desa dan kecamatan di Mentawai yang mendapatkan jaringan 3G dan 4G. Di pulau lain, yakni Siberut dan Pagai, hanya ada 2G atau EDGE. Jaringan internet yang buruk di Mentawai membuat kepala sekolah di Siberut Selatan harus ke Padang untuk mengirimkan laporan data pokok pendidikan, termasuk laporan dana operasional sekolah. Pergi ke Padang hanya perlu waktu tiga jam dengan kapal 49Inklusi SOSIAL Mentawai Fast, yang tersedia tiga kali seminggu. Ke Sipora, ibu kota kabupaten, perlu lima jam, itu pun dengan kapal kayu yang baru ada dua kali seminggu. Jaringan 3G di pulau 3T belum tersebar merata.

 

Untuk penerangan, Perusahaan Listrik Negara belum dapat menjangkau seluruh area 3 T seperti Mentawai. Maka sejak 2017, Program Peduli, mengusulkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Awalnya usulan berupa PLTS terpusat namun ternyata tidak cocok dengan kondisi lapangan karena kerap terendam banjir yang menyebabkan perawatan tinggi dan mesin rusak. Lalu PLTS terpusat diganti PLTSE per unit sesuai jumlah KK. Tahun 2019 usulan itu terwujud. Kementerian ESDM, melalui pemerintah daerah, memberikan bantuan PLTSE kepada 205 KK di area dampingan Peduli, sebagai pewujudan Nawacita Presiden Joko Widodo.

YCMM mendukung pemerintah di keempat wilayah target untuk mencapai tujuan program inklusi sosial yang disepakati, yaitu: Meningkatkan rekognisi, yaitu pengakuan dan penerimaan terhadap keberadaan masyarakat yang bermukim di hulu Sila’oinan dan Gorottai baik oleh pemerintah maupun kelompok sosial lain. Hal ini diwujudkan dalam penerimaan dan interaksi sosial kelompok marjinal dengan kelompok sosial lain; Partisipasi masyarakat marjinal dalam forum-forum, terutama yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan desa; Pemenuhan layanan sosial dasar dan penyaluran bantuan sosial.

 

Bicara mengenai Mentawai tak lengkap tanpa mengenal uma. Uma bisa berarti satuan adat dan bisa juga berarti rumah besar memanjang dengan arsitektur panggung yang ditinggali oleh beberapa keluarga dalam satu suku yang menjadi inti kehidupan masyarakat tradisional Mentawai. Pada uma inilah kebudayaan masyarakat adat Mentawai berpusat, melibatkan Sikerei (pemimpin seluruh upacara punen/adat) sebagai tokoh sentral, di samping Sikebbukat atau sesepuh masyarakat adat. Berbeda dengan saudara se-provinsi suku Minang yang bergaris keturunan ibu matrilineal, Mentawai menganut garis keturunan ayah patrilineal.

 

Pada uma pula ditemukan mitologi masyarakat adat Mentawai yang menjelaskan lelaku mereka sehari-hari. Kearifan lokal tentang bagaimana mencari tempat berlindung saat gempa terjadi dan rangkaian setelahnya; berupa tanda-tanda alam yang dipakai untuk menentukan siklus pertanian dan segala hal berhubungan dengan kehidupan. Namun, kini, mendirikan atau memperbaiki uma adalah satu kemewahan yang sulit dijangkau. Bahkan saat ini uma hanya ada di sebagian pedalaman Pulau Siberut. Adapun di tiga pulau lain, yakni Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, uma sudah sulit ditemukan.

 

Bangunan uma biasanya terdiri atas lima jenis kayu, yaitu meranti putih, gaharu, enau, bambu, rotan, dengan atap rumbia dan ribuh sebagai tiang penopang utama. Jumlah batang-batang kayu ribuh yang menjadi inti dalam setiap bangunan uma akan sangat bergantung dari besar atau kecilnya uma. Tiang-tiang pancang utama inilah yang menjadi muasal didirikannya uma dan berkaitan dengan legenda setempat soal dewa gempa yang disebut sebagai Teteu Ka Baga dan dalam versi lain disebut sebagai Sigegegeu. Legenda ini berkaitan dengan ritual pengorbanan dalam setiap pendirian uma yang berkaitan dengan mitologi masyarakat setempat tentang keberadaan dewa gempa.

 

Oleh karena mendirikan uma biasanya disertai pesta yang relatif mewah, biaya pun menjadi besar sehingga pembuatan uma menjadi relatif makin sedikit. Selain kerusakan yang membuat uma baru jarang didirikan, kebijakan pemerintah merelokasi masyarakat adat Mentawai di pedalaman menjadi salah satu sebab mengapa jumlah uma semakin berkurang. Sejak itu, fungsi uma berubah total. Uma baru digunakan jika digelar upacara adat atau pesta adat yang disebut punen dalam kehidupan tradisional orang Mentawai, termasuk berubahnya ritual pengobatan tradisional.

 

Pada masa Orde Baru, pemerintah melalui Departemen Sosial pernah berupaya mengubah cara hidup suku Mentawai. Proyek Depsos tahun 1975 bernama “Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing” ini menjadi penyebab perubahan tatanan masyarakat adat di Mentawai. Anjuran pemerintah ini berlanjut pada tahun 1980-an agar masyarakat Mentawai yang sudah menikah meninggalkan uma dan menempati rumah-rumah yang lebih kecil. Masyarakat yang dulunya hidup berkelompok dalam uma dipaksa meninggalkan uma supaya lebih dekat dengan pusat desa yang memudahkan penyediaan layanan dasar. Masyarakat suku Mentawai diberikan insentif ekonomi berupa uang makan dan bibit tanaman namun tanah diberikan kepada warga suku lain.

 

Pemerintah membangunkan pemukiman agar masyarakat suku Mentawai bisa menyesuaikan diri dengan standar kehidupan modern. Namun, hal itu tidak berhasil membuat warga bisa hidup beradab seturut selera pemerintah. Masyarakat yang dipaksa “merapat” ke tempat yang lebih dekat ke “pusat peradaban” oleh pemerintah justru hidup serba terbatas. Selain itu, mereka juga kesulitan hidup berdampingan dengan kelompok masyarakat lain yang telah lebih dulu menata hidup di desa yang baru. Terjadi konflik lahan dan ketidakpastian hukum. Tidak heran jika kebijakan resettlement ini tidak langgeng. Selain soal pemukiman, pemerintah Orde Baru melanjutkan proyek mengubah masyarakat pedalaman menjadi lebih beradab. Waktu itu semua lelaki berambut panjang ditangkap dan dipotong paksa. Kabit, luat, lekkeu dilucuti. Kalau pakai cawat disuruh ganti celana.

 

Pemusnahan segala yang berbau adat dilakukan secara sistematis, massif dan terstruktur. Landasan pemusnahan aliran kepercayaan, termasuk Arat Sabulungan di Mentawai, dibuat pada masa Soekarno. Ali Sastroamidjojo, yang menjabat perdana menteri kurun 1953-1955 membentuk panitia inter-departemen untuk peninjauan aliran kepercayaan di masyarakat (interdep pakem) dengan SK No.167/PROMOSI/1954. R HK Sosrodanukusumo, Kepala Jawatan Reserse Pusat Kejaksaan Agung jadi ketua panitia. Melalui SK perdana menteri, pemerintah memberi mandat kejaksaan untuk mengawasi, menyelidiki, bahkan melarang semua kepercayaan yang tak sesuai dengan agama yang akui pemerintah: Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Aturan pemusnahan aliran kepercayaan terus berkembang sampai muncul UU No.1/PNPS/1965.

 

Dasar itu jadi alasan kuat bagi pemerintah memusnahkan Arat Sabulungan. Masyarakat adat Mentawai dipaksa meninggalkan budaya sikerei yang erat melakukan ajaran Arat Sabulungan. Mereka diberi waktu tiga bulan untuk memilih agama—waktu itu hanya ada Islam dan Protestan di Mentawai. Jika menolak, budaya mereka akan dimusnahkan. Pada 1952, Islam masuk ke Siberut, namun baru populer era 1990an. Tiga tahun setelah itu, banyak misionaris Protestan dan Katolik menyebarkan agama di Siberut. Rapat tiga agama menganggap Arat Sabulungan di Mentawai sama dengan aliran kepercayaan, karena percaya pada roh Tai Kaleleu (penguasa hutan), Tai Kabagatpolak (penguasa tanah), Tai Kabagatoinan (penguasa sungai), Tai Kamanua (penguasa langit), Tai Kabagatkoat (penguasa laut), dan Ulau Manua (penguasa alam semesta yang disebut Tuhan).

 

Sejak itu, budaya Mentawai perlahan menghilang. Masyarakat adat di sana banyak memeluk Katolik yang keras melarang kepercayaan lama. Meskipun begitu, budaya Mentawai terus hidup di pulau-pulau kecil yang jauh dan sulit dijangkau. Pemerintah mengajak masyarakat yang dianggap primitif untuk memeluk agama yang resmi diakui oleh negara. Program Peduli tidak mengintervensi hal ini secara khusus karena mempertimbangkan skala prioritas, saat ini ada hal yang lebih mendesak untuk ditangani yaitu pemenuhan layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan pengurusan catatan kependudukan sipil.

Salah satu hal yang penting dan mendesak adalah banyaknya warga terutama yang tinggal di bagian hulu menikah hanya secara adat dan tak tercatat. Pada tahun 2018, Program Peduli mendorong penyelenggaraan nikah massal oleh gereja supaya perikatan kontrak yang sudah sah secara agama dapat lebih dikuatkan oleh negara melalui pencatatan sipil. Ihwal Rekognisi. Suku Mentawai sering dianggap sebagai orang hulu, udik, kotor, liar, primitif, tak beradab, tak berbudaya. Mereka juga dianggap jahat karena percaya dukun dan kekuatan magis. Padahal, kemampuan menyembuhkan orang sakit dengan metode tradisional itu didapat dari cara hidup yang akrab dengan alam. Awalnya, banyak yang percaya pada stigma tersebut. Namun, sering terlupa bahwa masyarakat adat adalah kelompok manusia yang terlahir sama.

 

Suku, agama, ataupun ras tidak membuat yang satu lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang ain. Bahkan, jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya masyarakat adat dapat dianggap lebih unggul. Masyarakat pedalaman pulau Siberut, contohnya, memiliki cara unik untuk mencari pencuri atau pelaku tindak pidana ringan lain melalui upacara adat bekeu malekbuk. Ini merupakan sistem pengadilan masyarakat adat yang ada dan hanya digunakan untuk kejahatan kecil, bukan kriminal berat. Pengadilan ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Mentawai dalam hal pelaksanaan hukum adat terhadap masyarakat yang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap norma di daerahnya.

 

Pengadilan ini dipimpin oleh sikerei sebagai wali hakim. Upacara dilaksanakan dengan menggunakan kembang sepatu, hibiscus. Bunga dipakai sebagai alat untuk mengarahkan siapa pencurinya. Pemilihan bunga ini untuk memudahkan dalam melakukan upacara, dan bunga ini tumbuh subur di perkampungan. Sikerei akan mengumpulkan orang-orang yang dicurigai sebagai pelaku. Mereka disuruh duduk berkeliling menghadapi sebuah wadah yang berisi air. Di dalamnya diapungkan bunga hibiscus (warna dan bentuk tidak jadi masalah) dengan tangkai yang pendek. Bunga didorong oleh Sikerei dengan mencelupkan jari telunjuk ke cawan dan airnya diputar searah jarum jam, sehingga bunga berputar mengitari orang-orang yang duduk berkeliling tadi. Bila usaha yang dilakukan untuk memutarkan bunga sudah mencapai tiga kali dan bunga selalu berhenti pada orang yang sama, maka orang itulah yang dianggap sebagai pencurinya. Tetapi kalau bunga itu tidak berhenti pada orang yang sama, hal semacam ini disebut dengan Taiteukenia, artinya bunga enggan disuruh atau tidak mau menunjukkan pencurinya. Anggaplah bunga itu telah menunjukkan seseorang sebagai pelakunya. Maka semua orang akan arif dan diam-diam bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan tempat tersebut dengan aman dan tertib. Semua orang tidak boleh memberikan komentar apapun karena tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara.

 

Orang yang tertuduh kalau benar-benar pencurinya, akan berusaha mengembalikan barang curian tersebut dengan diam-diam pada malam hari agar tidak diketahui orang lain. (Data ini diperoleh dari laporan pencatatan Warisan Budaya Tak Benda di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013 oleh BPNB Sumatera Barat). Terdapat banyak nilai-nilai budaya yang dipertahankan dalam pengadilan sederhana yang masih bertahan dan dijalankan oleh masyarakat adat di Desa Madobag sampai saat ini (bukan area kerja Program Peduli, namun tetap dampingan Y CMM). Kesederhanaan ini dihormati oleh masyarakat sebagai milik dan kekayaan pengetahuan lokal.

 

Pertama, nilai menjaga alam. Tidak hanya menebang hutan, mengotori air juga merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa mendatangkan hukuman berupa denda adat. Denda itu setara dengan seekor babi, yang termasuk harta berharga bagi masyarakat Mentawai. Di sungai, buang air kecil saja dilarang, apalagi buang air besar, sangat tidak diperbolehkan karena air adalah sumber kehidupan. Dengan demikian, kelestarian hutan dan air di Mentawai tetap terjaga. Begitu selektif mereka terhadap alam dan lingkungannya.

 

Kedua, nilai praduga tidak bersalah, dalam hukum formal dikenal dengan azas praduga tak bersalah, sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Penerapan nilai ini dilakukan pada saat pemanggilan individu yang diduga bersalah. Mereka dikumpulkan dan dihadapkan dalam pengadilan adat.

 

Ketiga, nilai kesadaran hukum. Kesadaran akan hukum bagi mereka sangatlah mulia. Mereka menghormati dan menghargai orang yang ditetapkan sebagai bersalah. Semua orang yang hadir dalam pengadilan tersebut tidak memberikan komentar apa-apa ketika seseorang diberi sanksi hukum. Komentar terhadap orang yang bersalah dianggap sebagai perilaku yang tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara adat ini.

 

Keempat, nilai kepastian hukum. Kepastian terhadap hukum perlu dipertegas dalam kehidupan bermasyrakat. Nilai kepastian hukum ini diperoleh oleh masyarakat dengan pengadilan adat bekeu malekbuk. Orang yang sudah ditetapkan bersalah dalam pengadilan ini, dengan sadar akan melakukan sanksi adat yang ditetapkan.

Nilai-nilai ini masih dijalankan dan dipelihara oleh masyarakat adat yang menjadi pembeda utama dengan masyarakat luar yang acap berprinsip bahwa peraturan ada untuk dilanggar. Masyarakat modern kerap dicirikan oleh perilaku yang kurang mengindahkan norma hukum, terlebih jika tidak ada upaya penerapan yang ketat dan berlaku pandang bulu. Kembali ke ihwal peningkatan layanan dasar dalam hal pengurusan dokumen administrasi kependudukan (adminduk), yang menjadi salah satu fokus Program Peduli. Dulu, hanya ada 2 KK yang memiliki Kartu Keluarga dan 4 orang memiliki Kartu Tanda Penduduk di Gorottai. Dulu, 50 persen warga Silaoinan tidak memiliki dokumen Adminduk. Dulu, tidak ada unit pelayanan kesehatan di Bekkeiluk, Magosi dan Gorottai, sementara di Tinambu dan Salappa tidak ada petugas yang ditempatkan di Pustu. Dulu, hanya ada sekolah Uma YCMM dan Santa Maria Prayoga sampai kelas 3 atau 4. Dulu, tidak ada akses sarana air bersih dan penerangan. Dulu, masyarakat Gorottai bermukim di lokasi rawan banjir. Lain dulu, lain sekarang. Kini, 198 orang warga dampingan memiliki Adminduk (KK, KTP, Akta Nikah, Akta Lahir, KIA).

 

Kini, sudah ada tambahan tiga unit layanan kesehatan dan penempatan dua orang petugas kesehatan, dan ada minimal 210 orang mendapatkan akses kesehatan – jumlahnya tentu bertambah terus. Kini, ada tiga unit layanan sekolah yang dikelola oleh pemerintah, sehingga ada 147 anak mendapatkan akses Pendidikan. Kini, ada lima unit layanan air bersih dan 205 unit penerangan untuk 650 orang warga dampingan di Sialaoinan dan Gorottai, ada 265 warga dampingan dapat mengakses layanan kesehatan melalui JKN KIS dan 13 KK warga Gorottai mendapatkan akses bantuan perumahan di wilayah pemukiman baru yang bebas banjir, bahkan karena dokumen lengkap ada 94 orang warga dampingan dari Silaoinan dan Gorottai menjadi sasaran penerima bantuan sosial pada masa Pandemi Covid-19.

 

Melalui sebuah forum yang diselenggarakan dalam rangka penutupan hibah Program Peduli dan dihadiri oleh wakil pemerintah, warga penerima manfaat, dan kader serta mitra lain pada bulan Oktober 2020, tercapai sebuah konsensus bahwa program dampingan cukup berhasil membawa perubahan. Indikatornya, antara lain, dapat dilihat dari meningkatkan layanan adminduk dan pemberian bantuan sosial bagi masyarakat Sila’ Oinan dan Gorottai selaku kelompok masyarakat marginal dalam lingkup desa masing-masing. Peningkatan layanan adminduk dan bantuan sosial ini, memperlihatkan kebijakan program dan anggaran pemerintah desa Muntei dan Malancan telah memiliki keberpihakan kepada masyarakat di Sila’ Oinan dan Gorottai.

 

Peningkatan layanaan adminduk dan bantuan sosial juga memperlihatkan kepedulian dari pemerintah kecamatan, kabupatan dan provinsi terhadap kedua kelompok masyarakat marginal ini. Keberpihakan ini, berhasil dimunculkan melalui dialog-dialog yang difasilitasi Y CMM antara masyarakat dengan pemerintah kecamatan dan OPD di Kabupaten. Dialog-dialog ini bisa produktif, karena dialog-dialog tersebut, didukung oleh data-data yang kuat dan relevan, sebagai hasil kerja kader-kader dalam membantu pemerintah desa mengumpulkan dan menyusun data serta profil masyarakat yang diusulkan menerima layanan adminduk dan bantuan sosial.

 

Saat ini, harus diakui, inklusi masih belum menjadi paradigmna dan pendekatan utama dalam agenda-agenda pemerintahan. Karena itu, menjadi mitra pemerintah untuk terus memperkuat persfektif inklusi masih menjadi agenda penting. Keberlangsungan kebijakan dan program-program yang inklusif, sulit untuk terus menguat, jika tidak ada mitra pemerintah dalam tahap implementasi. Selain itu, pengarusutamaan jender dalam pelaksanaan Program Peduli ditujukan untuk dapat melihat persoalan masyarakat dampingan secara holistik, juga untuk dapat merumuskan konsep dan program yang tepat dalam mengatasi persoalan-persoalan eksklusi yang dihadapi oleh kelompok marjinal.

 

Salah satu strategi inklusi gender yang dilakukan adalah mendorong kemandirian kelompok perempuan dalam bidang ekonomi, melalui pelatihan pembuatan olahan pangan dari bahan pangan lokal dan hasil pertanian masyarakat. Juga dengan membuka akses dan partisipasi kelompok perempuan dalam setiap forum-forum perencanaan tingkat dusun dan desa. Program Peduli juga mendorong terbukanya akses dan partisipasi perempuan dalam kegiatan[1]kegiatan dialog dan lobi pembangunan di tingkat Kabupaten. Pendekatan ini telah meningkatkan rasa percaya diri kelompok perempuan dalam menyuarakan kepentingan mereka. Kegiatan-kegiatan pemberdayaan kelompok perempuan oleh Program Peduli membuat Pemerintah Desa Muntei mengalokasikan dana khusus pemberdayaan kelompok perempuan dari ADD Muntei tahun 2018.

 

Partisipasi kelompok perempuan dalam forum-forum perencanaan pembangunan di tingkat dusun dan desa juga meningkat. Hasilnya, tahun 2018, pemerintah desa Muntei mengalokasikan dana khusus untuk kader[1]kader kesehatan perempuan dan pemerintah desa Malancan mengalokasikan dana ADD bagi pelayanan kesehatan khusus bagi perempuan dan anak. Lebih jauh terkait pendidikan. Pendidikan lewat sekolah baru menyentuh kawasan pedalaman Mentawai, khususnya Siberut, beberapa tahun setelah Mentawai memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman pada 1999. Inisiatif mendorong sekolah bagi anak-anak di pedalaman Mentawai juga bukan datang dari pemerintah, melainkan dari masyarakat lokal, setelah mereka mendapatkan berbagai pelatihan peningkatan kemampuan. Di pedalaman Mentawai, pendidikan dimulai dari sekolah hutan yang dikenal juga dengan nama sekolah uma. Sekolah hutan memang berada di perkampungan di pedalaman hutan Mentawai.

 

Sekolah pertama berada di Bekkeiluk, sekitar tiga jam melewati hutan dari lokasi Bekkeiluk saat ini. Sekolah tersebut berdiri pada 2004. Saat ini, sekolah tersebut sudah menjadi bagian dari SD Santa Maria milik Yayasan Prayoga yang berada di Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan. Aksesibilitas dengan segala ancamannya menjadi salah satu kendala bagi pendidikan di Mentawai. Kondisi itu diperparah sarana dan prasarana seperti ruang kelas, guru, dan buku yang serba terbatas. Saat ini, tujuh SD termasuk filial, dua SMP, satu SMA dan satu SMK di Siberut Selatan masih kekurangan ruang kelas. Di Dusun Bekkeiluk, misalnya, kegiatan belajar mengajar yang sebelumnya memanfaatkan gereja kini berpindah ke balai pertemuan.

Di pedalaman Siberut Selatan, sekolah rata-rata hanya ada sampai SD. Jika ingin meneruskan ke SMP hingga SM A, harus ke Muara Siberut. Melanjutkan sekolah juga sebenarnya tidak mudah karena artinya orangtua harus mengeluarkan biaya tambahan untuk kos dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Di tengah berbagai keterbatasan itu, masyarakat Mentawai menolak mengeluh. Mereka memilih tidak menangisi kondisi yang ada, tapi melawannya. Orangtua terus mendorong anak mereka sekolah dan anak-anak juga tidak kalah antusias. Karena pendidikan adalah jalan keluar dari kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.

 

Pendidikan juga membuka mata atas terjadinya eksploitasi alam Mentawai. Masifnya eksploitasi hutan tidak berbanding lurus dengan pembangunan infrastruktur di Mentawai sehingga aksesibilitas masih menjadi persoalan utama masyarakat setempat. Selain itu, dampak lain adalah bencana alam, bukan hanya dari darat, melainkan juga dari laut. Sebagai wilayah kepulauan yang memanjang di sisi paling barat Pulau Sumatera dan dikelilingi Samudera Hindia, Mentawai rentan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Belum lekang dari ingatan ketika pada 25 Oktober 2010, bencana tsunami yang diawali gempa berkekuatan 7,2 Skala Richter melanda wilayah Kepulauan Mentawai. Tercatat korban meninggal dunia mencapai 456 jiwa, ditambah kerugian harta benda dan kerusakan fisik serta sarana dan prasarana umum. Sudah seharusnya pemerintah menetapkan Mentawai menjadi kawasan yang dilindungi ekosistemnya.

 

Tujuannya agar masyarakat tidak berada dalam posisi yang lebih terancam lagi. Kekhawatiran terbesar dari eksploitasi alam adalah konflik antara masyarakat pemilik ulayat dan pihak yang menggarap lokasi. Konflik antara klaim negara bahwa hutan adalah hutan negara sehingga negara bebas menyerahkan kepada pihak mana saja yang tertarik untuk menggarap dan klaim masyarakat bahwa itu adalah tanah ulayat yang off limit untuk digarap oleh pihak luar. Kehadiran perusahaan-perusahaan pemilik konsensi tidak menyejahterakan masyarakat Mentawai. Hal itu terbukti dari sulitnya Mentawai keluar dari wilayah dengan kategori 3 T. Mentawai bahkan menjadi kabupaten dengan jumlah desa sangat tertinggal paling banyak, yakni 12 desa dari 43 desa — 20 desa lainnya masih tertinggal, 7 berkembang, dan hanya 4 yang dinyatakan maju. Pembangunan jalur Trans-Mentawai yang diharapkan bisa membuka ketertinggalan Mentawai belum kunjung selesai.

 

Akibatnya, sebagian besar masih harus mengandalkan jalur sungai atau laut untuk menjangkau wilayah lain. Kondisi itu berdampak terhadap tidak terdistribusinya komoditas hasil ladang atau kebun masyarakat. Tak semua masa dan rezim memberi peluang terbit perda yang mengatur masyarakat adat. Untunglah selama setahun terakhir, pemerintah mendorong kebijakan reforma agraria. Hasilnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan empat aturan pengelolaan hutan oleh masyarakat adat, enam masih proses.

 

Aturan itu berbentuk Surat Keputusan Hutan Adat. Masyarakat adat diberikan kewenangan mengelola selama 35 tahun. Kini sudah ada Perda Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang bisa menjadi dasar pengakuan negara atas wilayah adat Mentawai. Ke depan, Y CMM mendorong inovasi desa melalui pengembangan wisata berbasis masyarakat untuk membuktikan bahwa masyarakat Mentawai mampu mengelola potensi hutan yang mereka miliki. Apalagi hutan memang menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Mentawai. Tujuan lainnya adalah agar masyarakat bisa meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan jasa lingkungan ekosistem hutan.

 

YCMM juga berkomitmen menggerakkan individu dan jaringan organisasi LSM, akademisi, dan media yang bisa membantu pemerintah daerah untuk menumbuhkan dan memperkuat nilai-nilai inklusi dan pelembagaan kelompok marginal. Harapannya, sumber daya dan sumber dana pemerintah yang terbatas bisa dikolaborasikan dengan berbagai jaringan di daerah. Ke depan, kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat untuk 15 uma yang dituangkan melalui keputusan Bupati Kepulauan Mentawai diharapkan dapat diimplementasikan secara serius. Program Setapak Rainforest Norway terus menjadi mitra dalam implementasi masyarakat hukum adat yang wilayah adatnya diakui oleh negara.

 

Masyarakat bisa menentukan pilihan terbaik dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Tak ada keraguan dalam hal ini karena masyarakat adat Mentawai dapat menunjukkan ikatan asal leluhur, hubungan kuat dengan tanah, pranata pemerintahan, dan tatanan hukum yang menjadi dasar pembuktian kuat atas teritori tanah yang tetap, dihuni dari generasi ke generasi. Tantangan terus menanti. Sekalipun Surat Keputusan Hutan Adat Mentawai telah didapat, pengelolaan hutan harus bisa menghadirkan manfaat ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat adat. Tantangan tak pernah berhenti. Sekalipun Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Uma sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat telah dinyatakan berlaku, Perda ini harus menjadi modal sosial bagi masyarakat untuk merevitalisasi nilai-nilai adat dan budaya Mentawai yang kini tengah berada di ambang kepunahan, untuk bisa mempertahankan hidup masyarakat adat Mentawai yang setara dan bermartabat di nusantara, zamrud khatulistiwa bernama Indonesia.